Senin, 10 Juni 2013

Teori Penalaran Hukum (Legal Reasoning Theorie)


Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematis tersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek (multidimensional dan multifaset).[1]
Penalaran hukum sebagai kegiatan berpikir problematis tersistematis mempunyai ciri-ciri khas. Menurut Berman ciri khas penalaran hukum adalah:
1.            Penalaran hukum berupaya mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah asas (keyakinan) bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang termasuk dalam yuridiksinya. Kasus yang sama harus diberi putusan yang sama berdasarkan asas similia similibus (persamaan);
2.            Penalaran hukum berupaya memelihara kontinuitas dalam waktu (konsistensi historikal). Penalaran hukum akan mengacu pada aturan-aturan hukum yang sudah terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum terdahulu sehingga menjamin stabilitas dan prediktabili-tas;
3.        Dalam penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang klaim-klaim yang berlawan-an, baik dalam perdebatan pada pembentukan hukum maupun dalam proses mempertimbangkan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan dan dalam proses negosiasi.[2]

Ada beberapa pakar yang menyebutkan langkah-langkah dalam penalaran hukum. Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah penalaran hukum, yaitu:
1.    Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin,  biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable sources of law);
2.     Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
3.      Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam   struktur yang koheren, yakni strukturmyang   mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah   aturan   umum (synthesize the applicable rules of law into a coherent structure);
4.      Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
5.     Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).[3]

Gr. van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus antara lain:
1.       Meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi);
2.  Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3.     Menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
4.     Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu;
5.     Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
6.     Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian;
7.     Merumuskan (formulasi) penyelesaian.[4]

Sedangkan Shidarta menyebutkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
1.       Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2.       Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus ter-sebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
3.     Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
4.       Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
5.       Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
6.     Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.[5]

Dalam proses penerapan hukum secara secara teknis operasional dapat didekati dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui penalaran hukum induksi dan deduksi. Penanganan suatu perkara atau sengketa di pengadilan selalu berawal dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini, hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah judex facti. Setelah langkah induksi diperoleh atau fakta-faktanya telah dirumuskan, maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum.[6]
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.[7] Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:
1.          Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2.            Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;
3.            Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang  baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.[8]

Di samping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation), dan pemulihan (remedy).[9] Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi adalah saran atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.[10]
Dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.[11] Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas.[12] Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding).
Sudikno Mertokusumo mengatakan apa yang dinamakan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konret (das sein) tertentu.[13]
Paul Scholten menyatakan yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning (penghalusan/pengkonkretan hukum).[14] Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat mengatakan penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan konkretisasi produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya).[15] Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).[16]
Dalam rangka menemukan hukum, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut memberi makna hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[17]
Untuk dapat menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara menggunakan metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi (interpretation methoden) dan  konstruksi hukum ini terdiri atas nalar analogi yang gandengannya (spiegelbeeld) a contrario, dan ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan hukum.[18]
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum.[19] Ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi hukum dengan metode konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat dalam paparan buku-buku Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra. Sebaliknya, para penulis yang condong ke sistem Anglo Saxon, seperti Curzon, B. Arief Shidharta, dan Achmad Ali membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi hukum dan metode konstruksi hukum.[20]
Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut:
1.            Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
2.             Interpretasi historis, yaitu mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu dibentuk dulu;
3.            Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsir- kan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya;
4.            Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat;
5.            Interpertasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.            Interpretasi futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum);
7.            Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan;
8.            Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
9.            Interpretasi autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri;
10.         Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
11.         Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim mem-butuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.[21]

Dalam metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum, yaitu:
1.            Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;
2.            Argumentum a Contrario, yaitu dimana hakim melaku-kan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya;
3.            Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning) bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu;
4.            Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita.[22]

Di samping metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan konstruksi hukum, perlu dikemukakan suatu metode penemuan hukum yang lain yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam praktik peradilan sehari-hari sebagai alternatif metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan pada interpretasi teks hukum. Metode penemuan hukum ini dinamakan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum sebenarnya bukan sesuatu yang berdiri sendiri, sebaliknya justru lebih tepat bila digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan hermeneutis dan menemukan kesatuan hermeneutis masa lalu, dimana para ahli hukum dan teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.[23]
Tujuan hermeneutika hukum di antaranya untuk menempat-kan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi yang lebih luas. Upaya mengkonsteks-tualisasikan teori hukum cara seperti ini mengisyaratkan bahwa hermeneutika mengandung manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum). Upaya memandang problema hukum dari kacamata sejarah hukum, konstitusi linguistik hukum, dan implikasi politik dari cara pembacaan dan pemahaman hukum ini mencoba membangun interpretasi hukum yang benar dalam tradisi humanis.[24]
Dalam praktik peradilan tampak metode hermenutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum yang sangat legalistik formal sebagai metode penemuan hukum yang telah mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar hakim belum familiar dengan metode ini, sehingga jarang atau tidak menggunakannya dalam praktik peradilan. Padahal esensi hermeneutika hukum terletak pada pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat teks saja semata, tetapi juga konteks hukum itu dilahirkan serta bagaimanakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa mendatang.[25]

Bahan Bacaan :
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.

Ardhiwisastara, Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008.

D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta, PT. Refika Aditama, Bandung.  

Hadjon, Philipus M. & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009.

Leyh, Gregory, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 2002.

Mertokusomo, Sudikno, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009.

Mertokusumo, Sudikno & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993.

Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005.  

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”, . Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2004.

-----------, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”, Makalah dibawakan pada Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, Medan, 2 - 5 Mei 2011.

Shidarta, B. Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2000.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


[1] Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”, (Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2004), halaman 486.
[2] B. Arief Shidarta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2000, halaman 166-167.
[3] Shidarta, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”, Makalah dibawakan pada Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, (Medan, 2 - 5 Mei 2011), halaman 3-4.
[4] Ibid, halaman 4.
[5]  Ibid.
[6] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 89.
[7]  Ibid, halaman 90.
[8] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 2002, halaman 85-87.
[9] Menurut P.W. Brouwer sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antarnorma hukum, dapat dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik tersebut, yaitu:
a.     Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradoks dengan mempertahankan tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex specialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh yang lazim, yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum privat dan hukum publik dengan berargumentasi bahwa 2 (dua) hukum tersebut diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan tersebut terdapat konflik norma.
b.     Penafsiran ulang (reinterpretation)
Dalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi, menginterpretasikan kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel
c.     Pembatalan (invalidation)
Ada 2 macam, yaitu abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak normal dilakukan misalnya oleh suatu lembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan peraturan pemerintah (PP) ke bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal yaitu tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret.
Di Indonesia, dalam praktik peradilan, dikenal dengan mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah Tempo, hakim mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena bertentangan dengan Undang-Undang Pers. 
d.     Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misalnya dalam hal satu norma yang unggul dalam overrulednorm. Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, dengan cara memberikan kompensasi. Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009, halaman 31.
[10] Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, halaman 13.
[11]  Ahmad Rifai, Op. Cit, halaman 74.
[12]  Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, halaman 161.
[13] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009, halaman 37.
[14] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, halaman 106-107.
[15] D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, halaman 11.     
[16] Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005, halaman 81.  
[17]  Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008, halaman 7.
[18]  Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, Op. Cit, halaman 26.
[19] Achmad Ali, Loc. Cit. halaman 121.
[20] Ibid, halaman 115.
[21]  Ahmad Rifai, Loc. Cit, halaman 62-72.
[22]  Ibid, halaman 74-85.  
[23] Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008, halaman 1.
[24] Ibid, halaman 1-2.
[25]  Ahmad Rifai, Loc. Cit, halaman 89. 

4 komentar:

  1. Yth; bpk Habubal uman, Terima kasih atas sumbernya, sumber ini sangat membantu.

    BalasHapus
  2. terima kasih bpk. Habibul uman Taqiuddin; Atas sumbernya, oleh karena sumber ini sebagai salah satu bahan untuk mendukung penulisan Artikel mengenai kewenangan lembaga negara dalam pembentukan Undang-undang, jadi teori perundang-undangan ini semoga bermanfaat juga para peminat hukum dimana saja mereka membutuhkan. sekali lahi Terima kasih. salam sejahtera...!!

    BalasHapus
  3. Yth. Bapak Habubal Iman, terima kasih atas sharing knowledge dan refrensi atas kajian ini, sunggu sangat membantu.
    terima kasih banyak atas bantuan dan kontribusinya

    Salam
    Reza. Saktipan

    BalasHapus