Senin, 10 Juni 2013

Teori Perundang-undangan



Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.[1]
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.[2]
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain:
1.            Kelompok I   :Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);
2.            Kelompok II :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);
3.            Kelompok III           :Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”);
4.            Kelompok IV :Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan otonom).[3]

Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.[4] Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma fundamental negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya.[5]
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen  dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1.           Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
2.           Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan;
3.           Formell Gesetz : Undang-Undang;
4.           Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.[6]

Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:
A.           Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut:
1.           Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya;
2.           W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op de vereischte wrijze is tot stant gekomen” (Terjemahannya: ”...terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”);
3.           J.H.A Logemann mengatakan bahwa secara yuridis kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.       
B.           Kelakuan sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal dua teori:
1.           Teori Kekuasaan (”Machttheorie”; ”The Power Theory”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat;
2.           Teori Pengakuan (”Anerkennungstheorie”, ”The Recognition Theory” ) yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju.
C.           Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (”Rechtsidee”) sebagai nilai positif yang tertinggi (”Uberpositieven Wert”), misalnya, Pancasila, Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.[7]

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan harus mem-perhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain:
1.           Undang-Undang tidak dapat berlaku surut
2.           Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
3.           Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori);
4.           Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis);
5.           Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);
6.           Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.[8]
       
        Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang  baik meliputi:
a.            kejelasan tujuan;
b.            kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.            kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.            dapat dilaksanakan;
e.            kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.             kejelasan rumusan; dan keterbukaan.[9]
  
          Di samping itu materi muatan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a.            pengayoman;
b.            kemanusiaan;
c.            kebangsaan;
d.            kekeluargaan;
e.            kenusantaraan;
f.             bhinneka tunggal ika;
g.            keadilan;
h.            kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah-an;
i.             ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.             keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. [10]

Dalam doktrin ilmu hukum, pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan pernah disampaikan oleh I.C. Van Der Vlies dan A. Hamid S. Attamimi. Menurut I.C. Van Der Vlies membaginya menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu asas-asas yang formal dan asas-asas yang material. Asas-asas yang formal meliputi:
1.            Asas tujuan yang jelas (beginsel van duideleijke doelstelling);
2.            Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
3.            Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4.            Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5.            Asas konsensus (het beginsel van consensus).[11]
Sedangkan asas-asas material antara lain meliputi:
1.            Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek);
2.            Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3.            Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijk-heidsbeginsel);
4.            Asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel);
5.            Asas pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtbedeling).[12]

Sedangkan A. Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:
1.           Cita Hukum Indonesia;
2.           Asas Negara Berdasar Atas Hukum dan Asas Pemerintahan yang berdasar Konstitusi;
3.           Asas-asas lainnya.[13]
Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan oleh :
a.         Cita Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai ”bintang pemandu”;
b.        Norma Fundamental Negara juga tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Norma);
c.         (1)   Asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan Undang-Undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts);
(2)      Asas-asas pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi yang menempatkan Undang-Undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.[14]

Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:     
a.            Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.            Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.            Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.            Peraturan Pemerintah;
e.            Peraturan Presiden;
f.             Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.            Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
                
          Di samping jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)         Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai-mana  dimaksud  dalam  Pasal  7 ayat  (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan  Rakyat, Dewan Perwakilan  Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah  Konstitusi, Badan  Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang  dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah  Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat;
(2)         Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi perlu dilakukan pengujian undang-undang. Baik di dalam kepustakaan maupun praktek dikenal adanya 2 (dua) macam hak menguji, yaitu hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji material (material toetsingsrecht).[15] Adapun yang dimaksud dengan hak uji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana yang telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.[16] Sedangkan hak uji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[17]
Dalam mekanisme pengujian undang-undang dikenal ada 3 (tiga) model pengujian undang-undang, yaitu executive review, legislatif review, dan judicial review. Dalam model executive review, mekanisme pembatalan ini dapat juga disebut mekanisme pengujian, tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman (judiciary) ataupun legislator, melainkan oleh lembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas. Misalnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai ketentuan pembatalan peraturan daerah.[18]
Dalam model legislative review, pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan-badan yang terkait dengan cabang kekuasaan legislatif. Misalnya Ketetapan MPR RI No. II/MPR/2000 yang menentukan bahwa Majelis inilah yang diberi secara aktif menilai dan menguji konstititusionalitas undang-undang.[19] Sedangkan dalam model judicial review tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Mahkamah Agung itulah yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal atau Pelindung Undang-Undang Dasar (the Guardian or the Protector of the Constitution).[20]
Bahan Bacaan:
Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Asshiddiqie, Jimly & M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.

Chaidir, Ellydar & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010, halaman 73-74.

Soemantri, Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010.

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

Soekanto, Soerjono & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.



[1] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010, halaman 41.
[2] Ibid, halaman 42.
[3] Ibid, halaman 44-45.
[4] Ibid, halaman 46.
[5] Ibid, halaman 48.
[6] Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, halaman 171.
[7] Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993, halaman 88-92.
[8] Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010, halaman 73-74.
[9] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[10] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[11] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, halaman 228.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid, halaman 229.
[15]  Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, halaman 6.
[16]  Ibid.  
[17]  Ibid, halaman 11.
[18] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, halaman 74.
[19]  Ibid, halaman 71.
[20]  Ibid, halaman 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar